Assiry gombal mukiyo, 2 Juli 2013
Jelas sekali kerusakan yang terpampang dijidat kita, sebut saja yang paling dekat disebelah kehidupan lingkungan yang amburadul ini. Untuk memilih wakil rakyat ataupun kepala daerah kita sudah melakukan dengan memakai budaya salah kaprah tapi di anggap wajar. Misalnya budaya nyogok, korupsi dan manipulasi .Rakyat juga sedemikian bodohnya untuk nyoblos salah satu kandidat tertentu bukan karena kemampuan dan kualitas skaligus kapasitasnya sebagai Pemimpin.Tapi yang penting mau memberikan uang yang bakal di pilih. Jadi untuk mnjadi calon pemimpin sekarang ngga harus pintar dan menguasai medan lapangan masyarakatnya, asal ada Cukong, Makelar dan Bank Titil yang memberikan modal gede itu dijamin sembilan puluh sembilan persen pasti jadi.
Kalau dominasi produk budaya tertentu, umpamanya melalui media televisi membuat anak-anak kita rusak mentalnya, tidak terjaga iman dan jiwa religiusnya, bahkan lantas memiliki kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjauhkannya dari Allah - apakah anak-anak kita yang paling besar menanggung dosanya, ataukah produser budaya itu yang akan lebih dihisab oleh Allah? Dan ini juga berlaku pada semua sektor kehidupan di mana pemegang mainstream pelaku destruksi-destruksi moral dan kemanusiaan. Anak-anak muda yang rusak hidupnya, yang nyandu narkoba, yang cengengesan karena tontonan-tontonan memang hanya mendidik mereka untuk cengengesan, kalau ngga cengengesan maka dianggap kurang mantap. Yang kehilangan masa depan, yang tidak perduli pada kebenaran dan tidak menomer-satukan Tuhan - apakah mereka berdosa sendirian?
Ini juga bisa terjadi pada skala yang lebih kecil dalam kehidupan sehari-hari. Orang mencuri ada sebabnya, orang menjadi rusak ada asal usulnya, bahkan tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur dan tidak ada lelaki yang berdegup -degup hatinya karena punya cita-cita untuk merampok. Juga banyak kejadian-kejadian kecil sehari-hari yang kita akrabi yang jika berupa keburukan atau kejahatan - tidak serta merta kita hakimi sebagai suatu perbuatan yang berdiri sendiri.
Anak-anak mengemis di perempatan jalan, anak-anak menghisap narkoba, pemuda-pemudi melakukan seks bebas di kos, kontrakan dan hotel -hotel melati, bisakah mereka disalahkan sendirian dan dihukum sendirian. Bukankah ada keterkaitan struktural antara perbuatan mereka dengan segala sesuatu, termasuk orang-orang dan system, yang menjadikan mereka seperti itu.
Bukankah sederhana saja untuk mengarifi itu: kalau ada pejalan kaki terpeleset kakinya oleh kulit pisang, bisakah kita yakin bahwa orang yang membuang kulit pisang itu bebas dari tanggung jawab atas jatuhnya orang itu?
Ini juga bisa terjadi pada skala yang lebih kecil dalam kehidupan sehari-hari. Orang mencuri ada sebabnya, orang menjadi rusak ada asal usulnya, bahkan tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur dan tidak ada lelaki yang berdegup -degup hatinya karena punya cita-cita untuk merampok. Juga banyak kejadian-kejadian kecil sehari-hari yang kita akrabi yang jika berupa keburukan atau kejahatan - tidak serta merta kita hakimi sebagai suatu perbuatan yang berdiri sendiri.
Anak-anak mengemis di perempatan jalan, anak-anak menghisap narkoba, pemuda-pemudi melakukan seks bebas di kos, kontrakan dan hotel -hotel melati, bisakah mereka disalahkan sendirian dan dihukum sendirian. Bukankah ada keterkaitan struktural antara perbuatan mereka dengan segala sesuatu, termasuk orang-orang dan system, yang menjadikan mereka seperti itu.
Bukankah sederhana saja untuk mengarifi itu: kalau ada pejalan kaki terpeleset kakinya oleh kulit pisang, bisakah kita yakin bahwa orang yang membuang kulit pisang itu bebas dari tanggung jawab atas jatuhnya orang itu?
0 komentar:
Posting Komentar