Assiry gombal mukiyo, 11 September 2013
Mabrur itu pelengkap penderita. Kata dasarnya adalah birr (kebaikan). Artinya, mabrur adalah orang yang diberi kebaikan tertentu.
Ada empat jenis kebaikan lagi, yaitu, khoir, ma’ruf, ihsan, dan sholeh. Semuanya berarti kebaikan, tetapi dalam konteks yang berda-beda. Khoir adalah kebaikan yang bersifat anjuran dan universal. Yang dilakukan orang dalam hal khoir adalah menganjurkan orang lain melaksankan khoir. Ma’ruf adalah kebaikan yang sudah menjadi aturan, sehingga diwujudkan, dibakukan, dan ditegaskan dalam bentuk peraturan, regulasi, undang-undang, dan lain-lain. Maka ma’ruf itu diperintahkan, bukan dianjurkan. Ihsan adalah kebaikan yang dikerjakan, meskipun sebenarnya tidak wajib.
Sementara itu, sholeh adalah kebaikan yang sudah jadi
atau terbukti terterapkan dengan baik. Sholeh adalah kebaikan yang
sangat minimal kontraproduktifnya, karena sudah diperhitungan berbagai
sisi dan keterkaitannya dengan faktor-faktor atau konteks-konteks lain.
“Naik haji bisa tidak sholeh, kalau dilakukan tiap tahun.
Birr itu itu bersifat mandiri. Banggalah Anda bisa memenuhi panggilan ke Baitullah. Orang yang mendapatkan birr itu dimandirikan oleh Allah. Birr itu kebaikan yang sangat khusus. Naik haji mendapatkan puncak pengalaman intelektual, emosional, dan spiritual. Di sana, jangan masuk masjid tanpa membuka dan membaca Al-Quran.
Seberapa banyak orang yang berhaji tapi hajinya tidak diterima. Ada pula orang yang tidak jadi berhaji tapi ia dinyatakan sebagai haji mabrur. Memahami essensi haji mabrur dari kisah-kisah yang hadir di sekelilng kita, namun sering kali kita luput menyadari hal itu. Semoga kisah ini menjadi bahan tafakkur bagi siapapun yang hendak pergi berhaji.
Konon Mbah Kholil waliyullah dari bangkalan madura ,dulu berkali-kali urung pergi haji. Bukan karena dicekal, atau termasuk waiting-list oleh penjajah atau lainnya. Mbah Kholil tidak jadi pergi meskipun uang sudah siap karena sering terbentur kepada pemandangan kemiskinan disekitarnya. Maka Mbah Khlil selalu menunda hajinya dan memberikan uangnya untuk mereka yang memerlukan: orang miskin yang sakit, atau orang miskin yang tak bisa sekolah dan keperluan makan bagi korban penjajahan.
Kisah Mbah Kholil tersebut mengingatkan kita kepada Abdullah bin Al-Mubarak yang berkata, “Pada suatu masa ketika selesai pergi haji, aku tertidur di Masjidil Haram. Tiba-tiba aku bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit, lalu yang satu bertanya:
‘Berapa banyak orang berhaji tahun ini?’
‘Enam ratus ribu orang.’
‘Berapa banyak yang diterima?’
‘Tidak seorang pun yang diterima, kecuali seorang tukang sepatu di Damsyiq yang bernama Muwaffaq. Dia tidak jadi berhaji, tetapi hajinya diterima, sehingga semua yang berhaji tahun ini diterima berkat diterimanya Haji Muwaffaq itu.’
Ketika mendengar percakapan itu, aku pun terbangun dari tidur dan berangkat menuju Damsyiq untuk mencari Muwaffaq. Ketika tiba di rumahnya dan kuketuk pintunya, keluarlah seorang laki-laki. Langsung aku bertanya, ‘Benarkah kau Muwaffaq?’ ‘Ya,’ katanya.
Lalu aku brtanya , ‘Kebaikan apakah yang telah kau lakukan sehingga mendapat derajat yang demikian tinggi?’
Muwaffaq menjawab, ‘sudah lama sekali aku bermaksud melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak bisa karena keadaan ekonomiku tidak memungkinkan. Mendadak aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaan membuat dan menambal sepatu. Lalu aku pun berniat ingin menunaikan ibadah haji tahun ini.’
Sejenak ia mengambil napas, dan kemudian melanjutkan pembicaraannya lagi, ‘Suatu hari istriku yang tengah hamil mencium bau makanan dari tetangga sebelah, dan dia menginginkan makanan itu. Maka aku pun pergi ke rumah tetanggaku. Setelah kuketuk pintu, keluarlah seorang wanita, lalu kusampaikan maksudku.’ Maka jawabnya: ‘Saya terpaksa membuka rahasia. Sebenarnya anak-anak yatimku sudah tidak makan selama tiga hari, sehingga akupun keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba aku mendapati bangkai keledai, lalu saya potong sebagian dagingnya dan saya masak. Maka makanan ini halal bagi kami dan haram bagimu,’ kata wanita tersebut.
Mendengar jawaban itu, aku kembali ke rumah mengambil semua uangku sebesar tiga ratus dirham itu dan aku serahkan pada tetanggaku tersebut. Aku katakan kepada ibu anak-anak yatim itu, ‘Belanjakanlah uang ini untuk anak-anakmu yang yatim itu!’ Dan aku berkata pada diriku sendiri: ‘Hajiku dipintu rumahku, maka kemanakah aku akan pergi?”’
Haji ,kini tidak lagi sbagai sebuah ritual untuk mndekatkan dengan sang Khaliq, tapi lebih kepada prestisius belaka. Beberapa orang bhkan marah -marah dan memaki -maki salah seorang yang mnyapa tanpa memberikan gelar pak haji atau ibu haji.
Haji yang sesungguhnya bukan pakaian ihram yang serba putrih dan peci putih. Haji lebih kepada memutihkan seluruh perilaku kehidupan kita secara horizontal dengan sesama.
Sudahkah tetangga kita bisa makan? sudahkah mereka tercukupi dari sendi kesehatan dan jaminan pendidikannya yang ternyata jauh dari kata layak apalagi cukup.
Kita nyaris pingsan dan bahkan lebih enak pura -pura tidur diatas jeritan dan rintihan tetangga dan sanak saudara yang serba papa.
Janganlah bersedih apabila kita tak juga dapat pergi haji, lihatlah pahala yang setara dengan pahala haji:
- Mengerjakan puasa pada hari Arafah di Tanah Air akan berbuah pahala seperti pahala ibadah haji.
- Barang siapa di waktu pagi berniat membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan seorang muslim yang papa , baginya ganjaran seperti ganjaran haji yang mabrur.
Sudahkah kita mabrur dalam menjalani kehidupan ini ?
0 komentar:
Posting Komentar