Muhammad Assiry, 22 Agustus 2017
Pada prinsipnya, menulis ayat-ayat Al-Qur’an atau penggalan ayat tertentu yang memiliki pesan untuk mengajak seseorang salat berjamaah, khusyuk dalam beribadah, menjaga etika di rumah Allah (masjid) dengan menulisnya di dinding masjid, atau menggunakan media tertentu seperti kaca, kayu dan sejenisnya lalu ditempel di dinding masjid merupakan hal yang mubah (boleh) hukumnya. Bahkan menulis ayat dan hadist tertentu dengan maksud memberikan motivasi ibadah, syi’ar Islam serta agar masjid terlihat indah dengan kaligrafi yang bagus, termasuk persoalan yang diperbolehkan. Islam disamping memperhatikan aspek hukum, juga sangat memperhatikan aspek etika dan estetika.
Bahkan jika dibaca tentang sejarah awal pemeliharaan Al-Qur’an hingga pengumpulan dan penulisannya sejak masa Rasulullah saw hingga masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun, para sahabat menjaga Al-Qur’an dengan dua metode sekaligus, yaitu metode menghafal (al-jam’u fi ash-Shudur), dan metode penulisan Al-Qur’an (al-jam’u fi ash-shuthur) baik di pelepah kurma, bebatuan, dedaunan hingga kulit binatang yang sudah disamak. Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan juru tulis wahyu (kuttab an-Nabi/kuttab al-wahyi), sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut ini, yang artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, (Ia) berkata; saya telah bertanya kepada Anas bin Malik ra., siapakah orang yang telah mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi saw? Anas menjawab: ada empat orang seluruhnya dari kaum Anshar, yaitu; Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengusulkan dan menyarankan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengumpulkan dan membukukan (memushafkan) Al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan banyaknya para Huffazh (para penghafal Al-Qur’an) yang meninggal baik saat peperangan maupun lainnya. Dengan pertimbangan yang sangat matang dan berat akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar untuk mengumpulkan dan menulis kembali Al-Qur’an dengan memerintahkan beberapa sahabat juru tulis wahyu pada Nabi saw., dengan menjadikan Zaid bin Tsabit sebagai penanggung jawabnya. Dengan pertimbangan yang sangat mendalam pula, akhirnya Zaid bin Tsabit menerima usulan Abu Bakar tersebut, lalu beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai sumber, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam penggalan riwayat al-Bukhari berikut ini, yang artinya :
“Zaid bin Tsabit berkata dan Umar duduk bersamanya tanpa bicara sedikitpun. Lalu Abu Bakar berkata (kepada Zaid bin Tsabit): sesungguhnya engkau adalah seorang yang muda belia, cerdas dan kami tidak menyangsikanmu sedikitpun. Engkau telah menulis wahyu bagi Rasulullah saw …… lalu saya berdiri (menerima amanah tersebut), lalu saya mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit-kulit binatang (yang sudah disamak), tulang-tulang, pelepah-pelepah kayu (kurma) dan dari hafalan para sahabat.” [HR. al-Bukhari]
Salah satu kesimpulan yang dapat dipetik dari riwayat tersebut adalah tentang bolehanya menulis ayat Al-Qur’an baik pada pelepah kayu (papan dan sejenisnya), kulit dan tulang binatang yang halal dimakan seperti sapi dan kambing dan media lainnya. Namun, sekalipun menulis kaligrafi berupa ayat-ayat Al-Qur’an atau kalimat-kalimat yang terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah swt. (al-Asma’ al-Husna) diperbolehkan secara syar’i, tetapi yang harus diperhatikan ta’mir masjid al-Islah khususnya dan umat Islam pada umumnya adalah hendaknya media yang digunakan untuk menulis ayat Al-Qur’an tersebut harus dipastikan kesuciannya (bukan barang najis), diletakkan pada posisi yang tepat dan terhormat (bukan di kamar mandi dan sejenisnya), dan tidak berlebihan sehingga membuat jamaah terganggu kekhusyukannya dalam melaksanakan salat.
Terkait dengan tempat yang dilarang untuk menulis ayat Al-Qur’an maupun tulisan-tulisan yang terdapat nama-nama Allah dan Rasul-Nya sebagaimana penjelasan di atas adalah kamar mandi, WC dan sejenisnya. Hal ini dapat dipahami dari spirit hadis Nabi SAW., sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila masuk ke kamar kecil beliau menanggalkan cincinnya (yang bertuliskan Muhammad Rasulullah).”[HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Ketika menjelaskan matan hadist tersebut, para ulama menyatakan bahwa hadis ini merupakan dalil tentang larangan membawa, menyebut maupun menuliskan nama-nama Allah, Rasulullah dan Al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat tentang kesunnahan untuk tidak membawa (termasuk tulisan) atau menyebutkan seluruh nama dan sifat-sifat Allah, nama para Nabi dan Malaikat, namun jika hal itu dilanggar maka hukumnya makruh.
Dari penjelasan tersebut, maka menghias kaligrafi di Masjid/Surau atau Musholla pun dengan Al-asma’ Al-husna maupun ayat-ayat Al-Qur’an pada prinsipnya hukumnya mubah (boleh), dengan memperhatikan aspek-aspek etika, estetika dan hukum sebagaimana yang sudah saya jelaskan.
Pada prinsipnya, menulis ayat-ayat Al-Qur’an atau penggalan ayat tertentu yang memiliki pesan untuk mengajak seseorang salat berjamaah, khusyuk dalam beribadah, menjaga etika di rumah Allah (masjid) dengan menulisnya di dinding masjid, atau menggunakan media tertentu seperti kaca, kayu dan sejenisnya lalu ditempel di dinding masjid merupakan hal yang mubah (boleh) hukumnya. Bahkan menulis ayat dan hadist tertentu dengan maksud memberikan motivasi ibadah, syi’ar Islam serta agar masjid terlihat indah dengan kaligrafi yang bagus, termasuk persoalan yang diperbolehkan. Islam disamping memperhatikan aspek hukum, juga sangat memperhatikan aspek etika dan estetika.
Bahkan jika dibaca tentang sejarah awal pemeliharaan Al-Qur’an hingga pengumpulan dan penulisannya sejak masa Rasulullah saw hingga masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun, para sahabat menjaga Al-Qur’an dengan dua metode sekaligus, yaitu metode menghafal (al-jam’u fi ash-Shudur), dan metode penulisan Al-Qur’an (al-jam’u fi ash-shuthur) baik di pelepah kurma, bebatuan, dedaunan hingga kulit binatang yang sudah disamak. Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan juru tulis wahyu (kuttab an-Nabi/kuttab al-wahyi), sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut ini, yang artinya :
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, (Ia) berkata; saya telah bertanya kepada Anas bin Malik ra., siapakah orang yang telah mengumpulkan Al-Qur’an pada masa Nabi saw? Anas menjawab: ada empat orang seluruhnya dari kaum Anshar, yaitu; Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengusulkan dan menyarankan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengumpulkan dan membukukan (memushafkan) Al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan banyaknya para Huffazh (para penghafal Al-Qur’an) yang meninggal baik saat peperangan maupun lainnya. Dengan pertimbangan yang sangat matang dan berat akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar untuk mengumpulkan dan menulis kembali Al-Qur’an dengan memerintahkan beberapa sahabat juru tulis wahyu pada Nabi saw., dengan menjadikan Zaid bin Tsabit sebagai penanggung jawabnya. Dengan pertimbangan yang sangat mendalam pula, akhirnya Zaid bin Tsabit menerima usulan Abu Bakar tersebut, lalu beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai sumber, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam penggalan riwayat al-Bukhari berikut ini, yang artinya :
“Zaid bin Tsabit berkata dan Umar duduk bersamanya tanpa bicara sedikitpun. Lalu Abu Bakar berkata (kepada Zaid bin Tsabit): sesungguhnya engkau adalah seorang yang muda belia, cerdas dan kami tidak menyangsikanmu sedikitpun. Engkau telah menulis wahyu bagi Rasulullah saw …… lalu saya berdiri (menerima amanah tersebut), lalu saya mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kulit-kulit binatang (yang sudah disamak), tulang-tulang, pelepah-pelepah kayu (kurma) dan dari hafalan para sahabat.” [HR. al-Bukhari]
Salah satu kesimpulan yang dapat dipetik dari riwayat tersebut adalah tentang bolehanya menulis ayat Al-Qur’an baik pada pelepah kayu (papan dan sejenisnya), kulit dan tulang binatang yang halal dimakan seperti sapi dan kambing dan media lainnya. Namun, sekalipun menulis kaligrafi berupa ayat-ayat Al-Qur’an atau kalimat-kalimat yang terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah swt. (al-Asma’ al-Husna) diperbolehkan secara syar’i, tetapi yang harus diperhatikan ta’mir masjid al-Islah khususnya dan umat Islam pada umumnya adalah hendaknya media yang digunakan untuk menulis ayat Al-Qur’an tersebut harus dipastikan kesuciannya (bukan barang najis), diletakkan pada posisi yang tepat dan terhormat (bukan di kamar mandi dan sejenisnya), dan tidak berlebihan sehingga membuat jamaah terganggu kekhusyukannya dalam melaksanakan salat.
Terkait dengan tempat yang dilarang untuk menulis ayat Al-Qur’an maupun tulisan-tulisan yang terdapat nama-nama Allah dan Rasul-Nya sebagaimana penjelasan di atas adalah kamar mandi, WC dan sejenisnya. Hal ini dapat dipahami dari spirit hadis Nabi SAW., sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila masuk ke kamar kecil beliau menanggalkan cincinnya (yang bertuliskan Muhammad Rasulullah).”[HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah]
Ketika menjelaskan matan hadist tersebut, para ulama menyatakan bahwa hadis ini merupakan dalil tentang larangan membawa, menyebut maupun menuliskan nama-nama Allah, Rasulullah dan Al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat tentang kesunnahan untuk tidak membawa (termasuk tulisan) atau menyebutkan seluruh nama dan sifat-sifat Allah, nama para Nabi dan Malaikat, namun jika hal itu dilanggar maka hukumnya makruh.
Dari penjelasan tersebut, maka menghias kaligrafi di Masjid/Surau atau Musholla pun dengan Al-asma’ Al-husna maupun ayat-ayat Al-Qur’an pada prinsipnya hukumnya mubah (boleh), dengan memperhatikan aspek-aspek etika, estetika dan hukum sebagaimana yang sudah saya jelaskan.
0 komentar:
Posting Komentar