Habib Anis Sholeh Ba'asyin, 06 Agustus 2017
Setidaknya ada dua reaksi atas pencurian amplifier mushola di Bekasi.
Keduanya diperagakan oleh dua kalangan yang berbeda, tapi pada dasarnya
memamerkan kejernihan akal yang sama.
Bedanya, yang satu dibimbing
oleh 'kegilaan' sesaat yang muncul dari bawah sadar; yang lain dituntun
oleh 'kegilaan' sistematis yang memang secara sadar sengaja dipelihara.
Reaksi pertama diperagakan oleh kerumunan massa di lapangan. Cukup oleh
teriakan maling, maka kerjernihan mereka langsung bekerja melampiaskan
kemarahan. Tanpa berpikir panjang mereka langsung mengeroyok dan
membakarnya.
Luar biasa.
Reaksi kedua muncul dari kalangan yang berbeda, yakni dari kalangan menengah atas yang sangat mungkin merasa sedang mendapat wahyu untuk menjaga nilai-nilai mulia.
Reaksi kedua muncul dari kalangan yang berbeda, yakni dari kalangan menengah atas yang sangat mungkin merasa sedang mendapat wahyu untuk menjaga nilai-nilai mulia.
Begitu
jernihnya mereka sehingga dengan kecepatan yang luar biasa mengagumkan
bisa begitu saja meringkus fakta hanya di ujung-ujungnya saja, yakni:
maling ampli mushola dibakar. Lantas, berdasar fakta hasil ringkusan
tersebut membuat simpulan cemerlang 'jamaah mushola membakar maling
ampli'.
Setelah dengan jernih membuat simpulan brilian, dengan
gembira lantas dirayakan dengan mengutuk-kutuk jamaah mushola,
menghubung-hubungkan dengan bela Islam, bahkan Islam-nya sekalian.
Jelas, mengeroyok maling, apalagi membakarnya, seperti dipertunjukkan
oleh reaksi pertama, tidak dibenarkan oleh ajaran agama manapun. Dan itu
harus dikutuk.
Tapi yang tak kalah mendesak untuk juga dikutuk keras adalah pikiran kelewat-lewat jernih yang dipamerkan oleh reaksi kedua.
Memang benar ada orang diduga mencuri ampli mushola, tapi tak pernah ada cerita jamaah mushola mengeroyok apalagi membakarnya.
Ketika dikejar marbot mushola, dan secara tak sengaja bertemu di pasar,
orang tersebut malah berlari dan meninggalkan motornya. Dia pun lantas
diteriaki 'maling'. Karena gugup dan takut dikeroyok 'jamaah' pasar
(yang tak ada hubungannya dengan jamaah mushola), dia terjun ke sungai.
Celakanya di seberang sungai banyak 'jamaah' lain (yang juga sama sekali
tak punya hubungan dengan jamaah mushola) yang sudah menunggunya. Maka
terjadilah peristiwa yang kemudian ramai dibicarakan: dia dikeroyok
dan...dibakar.
Tapi ini semua diabaikan, karena kejernihan terlanjur
menuntun untuk mengambil simpulan yang dirasa paling pas bagi
kepentingan mereka, tentu saja tanpa harus menimbang kronologinya.
Pada dasarnya ini adalah kejernihan yang sama sebangun dengan yang
diperagakan oleh para pengeroyok dan kemudian pembakar orang yang diduga
mencuri tersebut. Kejernihan yang juga tak mau memberi kesempatan untuk
bertanya: apa kesalahannya? Seberapa besar tingkat kesalahannya? Dst.
Sudah yakin bahwa yang dikejar adalah maling maka solusinya cuma hajar
dan kemudian bakar.
Luar biasa, kejernihan model begini inilah
sumber api sesungguhnya. Sumber api yang mengancam keutuhan sosial kita.
Dan sumber api semacam inilah yang hari-hari ini sedang marak
diperagakan di sekitar kita.
0 komentar:
Posting Komentar