Muhammad Assiry, 3 Agustus 2017
Agaknya, Inilah hari-hari panjang sebuah kehidupan yang nampaknya belum mengisyaratkan sebuah harapan untuk namanya “kemanusiaan”. Kezaliman demi Kezaliman berarak-arakan, mencibir pongah dipertontonkan, dipeluk -peluk bahkan terus dibalutkan menjadi pakaian kemewahan.
Di Patani, Myanmar, Bosnia, Palestina, Irak, Suriah, Nigeria, Afganistan, Kalimantan, Mesuji, Papua, Ambon, Makassar, Aceh, dan di mana-mana.
Beragam bentuk penindasan, penganiayaan, penculikan anak, penggusuran, intimidasi, perdagangan manusia yang organ tubuhnya diperebutkan, Kemiskinan dan kebodohan, kekuasaan dan keserakahan, menjadi instrumen utama penggiringnya. Pantaslah kita tercenung mencari sebuah jawaban atas pertanyaan klasik “Mengapa kita kaum manusia kini kehilangan rasa kemanusiaannya sendiri ?"
Mereka (tanpa menyeleksi) pemirsanya ‘dipaksa’ malahap tontonan yang mematikan nurani. Setiap saat, setiap orang bahkan anak-anak yang masih pesat perkembangan pola pikir dan pohon hatinya, disuguhi tontonan kekerasan. Mulai dari aksi tak manusiawi aparat keamanan, tawuran antar pelajar, saling tendang sesama geng motor, korupsi, pertengkaran anggota DPR, hingga demo-demo bayaran yang mengatas namakan Islam, kasus-kasus mesum Mahasiswa yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa yang semakin mencapai titik nadir dan memilukan.
Beberapa hari ini bahkan kita disuguhi tontonan dan peristiwa yang membuat ulu hati jadi berkeping -keping. Peristiwa tragis tentang seseorang yang dituduh maling amplifier di Masjid kemudian dibakar hidup-hidup tanpa diberikan secuil kesempatan melakukan penjelasan dan pembelaan sama sekali.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahiim.....
Tindakan main hakim ini ternyata bagian dari hilangnya nurani dan kemanusian itu sendiri.
Bahkan seorang Bayi yang mustinya berada dipelukan dan kasih sayang seorang Ibu justru harus berujung petaka dengan disimpan di freezer Es oleh seseorang mustinya menjadi muara kasih sayang. Makanya rahim itu hanya dimiliki seorang ibu, karena rahim berarti seseorang yang sungguh memilki kasih sayang karena harus mengandung seorang bayi selama kurang lebih 9 bulan yang luar biasa berat bahkan digambarkan oleh Quran "wahnan 'ala wahnin " berat diatas berat pengorbanan seorang ibu.
Saya tidak bisa mengungkapkan betapa kejamnya manusia bahkan Iblis sendiri belum pernah ada cerita mereka membunuh anak dan keturunannya sendiri.
Bisa jadi Iblis sekarang banyak yang "nganggur" karena puncak kecanggihan kejahatan kemanusiaan ternyata mereka bangsa Iblis kalah canggih dan kreatif daripada Manusia. Wajar saja jika bahan bakar api neraka yang terus berkobar menyala-nyala adalah manusia dan bebatuan karena kelakuan manusia yang tidak manusiawi "waquuduha annasu wal hijaratu". Maha benar Allah dengan segala firmanNya
Layaknya sebuah tontonan, pada awal kita menyaksikan, dengan otomatis mulut kita berdecah bahkan menjerit, sebagai bentuk penolakan luar biasa atas nilai-nilai yang ditampilkan. Tapi lama kelamaan, tontonan yang sama tidak lagi membuat perut kita mual, bahkan lambat laun dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, wajar akhirnya kita rindu bahkan sangat menikmatinya.
Aduh Gusti, apakah ini berarti kezaliman akan menjadi kelaziman?
Sesuatu yang dilihat berulang tidak akan menjadi catatan istimewa alias biasa-biasa saja. Contohnya bagi penduduk pulau Bali. Tidak ada lagi yang dirasa luar biasa atas keindahan sang pulau dewata, berbeda dengan turis dan pendatang yang baru menyaksikan pertama kali keunikan sawah bertingkat di Ubud dan romantisnya senja di Tanah Lot. Karena pusat sensasi hanya akan merespons sesuatu rangsangan baru, baik yang dilihat, diraba, dan didengar. Tidak untuk stimulus yang sudah berulang-ulang.
Bicara tentang “Rasa kemanusiaan”, tentu akan berbincang perihal “Hati”, lantaran hati adalah tempat bersemayamnya rasa kemanusiaan itu sendiri, sekaligus pintu pelontarnya. Hati adalah pusat pertemuan Allah dengan insan ciptaanNya. Pertemuan ini merupakan dimensi kognitif dan juga dimensi moral.
Iman tumbuh dan bertahta di hati, namun hati pula yang mencerabutnya, membawa kepada kemungkaran dan penyelewengan dari rel jalan Tuhan, seperti yang dijelaskan Allah dalam surat Asy Syams ayat 7 – 8 “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya) maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan”.
Lalu bagaimana dengan mengembalikan hati yang terlanjur ke luar dari rel cahaya-Nya?. Menurut banyak ulama, penyebab utama dari ketidakmampuan berbuat baik dan kesulitan menjaga diri dari perbuatan keji dan munkar, serta tidak didengarnya setiap doa, adalah salah satu tanda tertutupnya mata hati dari Nur Ilahi. Karena itu kita dianjurkan untuk mengawalinya dengan konsentrasi mengurus hati, jangan mempersoalkan yang lain dulu, lantaran hatilah yang sedang menderita penyakit.
Kita diarahkan para guru Shaleh/Shalihah untuk memasrahkan diri kepada Ilahi, Sang Pembuka Hati. Karena Dialah yang menutup dan membuka hati kita. Dialah yang membutakan, menulikan dan menguncinya hingga tidak memberikan kepahaman atas ayat-ayat Allah yang turun ke dalam hati.
Agaknya, Inilah hari-hari panjang sebuah kehidupan yang nampaknya belum mengisyaratkan sebuah harapan untuk namanya “kemanusiaan”. Kezaliman demi Kezaliman berarak-arakan, mencibir pongah dipertontonkan, dipeluk -peluk bahkan terus dibalutkan menjadi pakaian kemewahan.
Di Patani, Myanmar, Bosnia, Palestina, Irak, Suriah, Nigeria, Afganistan, Kalimantan, Mesuji, Papua, Ambon, Makassar, Aceh, dan di mana-mana.
Beragam bentuk penindasan, penganiayaan, penculikan anak, penggusuran, intimidasi, perdagangan manusia yang organ tubuhnya diperebutkan, Kemiskinan dan kebodohan, kekuasaan dan keserakahan, menjadi instrumen utama penggiringnya. Pantaslah kita tercenung mencari sebuah jawaban atas pertanyaan klasik “Mengapa kita kaum manusia kini kehilangan rasa kemanusiaannya sendiri ?"
Mereka (tanpa menyeleksi) pemirsanya ‘dipaksa’ malahap tontonan yang mematikan nurani. Setiap saat, setiap orang bahkan anak-anak yang masih pesat perkembangan pola pikir dan pohon hatinya, disuguhi tontonan kekerasan. Mulai dari aksi tak manusiawi aparat keamanan, tawuran antar pelajar, saling tendang sesama geng motor, korupsi, pertengkaran anggota DPR, hingga demo-demo bayaran yang mengatas namakan Islam, kasus-kasus mesum Mahasiswa yang diharapkan menjadi pemimpin bangsa yang semakin mencapai titik nadir dan memilukan.
Beberapa hari ini bahkan kita disuguhi tontonan dan peristiwa yang membuat ulu hati jadi berkeping -keping. Peristiwa tragis tentang seseorang yang dituduh maling amplifier di Masjid kemudian dibakar hidup-hidup tanpa diberikan secuil kesempatan melakukan penjelasan dan pembelaan sama sekali.
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahiim.....
Tindakan main hakim ini ternyata bagian dari hilangnya nurani dan kemanusian itu sendiri.
Bahkan seorang Bayi yang mustinya berada dipelukan dan kasih sayang seorang Ibu justru harus berujung petaka dengan disimpan di freezer Es oleh seseorang mustinya menjadi muara kasih sayang. Makanya rahim itu hanya dimiliki seorang ibu, karena rahim berarti seseorang yang sungguh memilki kasih sayang karena harus mengandung seorang bayi selama kurang lebih 9 bulan yang luar biasa berat bahkan digambarkan oleh Quran "wahnan 'ala wahnin " berat diatas berat pengorbanan seorang ibu.
Saya tidak bisa mengungkapkan betapa kejamnya manusia bahkan Iblis sendiri belum pernah ada cerita mereka membunuh anak dan keturunannya sendiri.
Bisa jadi Iblis sekarang banyak yang "nganggur" karena puncak kecanggihan kejahatan kemanusiaan ternyata mereka bangsa Iblis kalah canggih dan kreatif daripada Manusia. Wajar saja jika bahan bakar api neraka yang terus berkobar menyala-nyala adalah manusia dan bebatuan karena kelakuan manusia yang tidak manusiawi "waquuduha annasu wal hijaratu". Maha benar Allah dengan segala firmanNya
Layaknya sebuah tontonan, pada awal kita menyaksikan, dengan otomatis mulut kita berdecah bahkan menjerit, sebagai bentuk penolakan luar biasa atas nilai-nilai yang ditampilkan. Tapi lama kelamaan, tontonan yang sama tidak lagi membuat perut kita mual, bahkan lambat laun dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, wajar akhirnya kita rindu bahkan sangat menikmatinya.
Aduh Gusti, apakah ini berarti kezaliman akan menjadi kelaziman?
Sesuatu yang dilihat berulang tidak akan menjadi catatan istimewa alias biasa-biasa saja. Contohnya bagi penduduk pulau Bali. Tidak ada lagi yang dirasa luar biasa atas keindahan sang pulau dewata, berbeda dengan turis dan pendatang yang baru menyaksikan pertama kali keunikan sawah bertingkat di Ubud dan romantisnya senja di Tanah Lot. Karena pusat sensasi hanya akan merespons sesuatu rangsangan baru, baik yang dilihat, diraba, dan didengar. Tidak untuk stimulus yang sudah berulang-ulang.
Bicara tentang “Rasa kemanusiaan”, tentu akan berbincang perihal “Hati”, lantaran hati adalah tempat bersemayamnya rasa kemanusiaan itu sendiri, sekaligus pintu pelontarnya. Hati adalah pusat pertemuan Allah dengan insan ciptaanNya. Pertemuan ini merupakan dimensi kognitif dan juga dimensi moral.
Iman tumbuh dan bertahta di hati, namun hati pula yang mencerabutnya, membawa kepada kemungkaran dan penyelewengan dari rel jalan Tuhan, seperti yang dijelaskan Allah dalam surat Asy Syams ayat 7 – 8 “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya) maka Allah mengilhamkan jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan”.
Lalu bagaimana dengan mengembalikan hati yang terlanjur ke luar dari rel cahaya-Nya?. Menurut banyak ulama, penyebab utama dari ketidakmampuan berbuat baik dan kesulitan menjaga diri dari perbuatan keji dan munkar, serta tidak didengarnya setiap doa, adalah salah satu tanda tertutupnya mata hati dari Nur Ilahi. Karena itu kita dianjurkan untuk mengawalinya dengan konsentrasi mengurus hati, jangan mempersoalkan yang lain dulu, lantaran hatilah yang sedang menderita penyakit.
Kita diarahkan para guru Shaleh/Shalihah untuk memasrahkan diri kepada Ilahi, Sang Pembuka Hati. Karena Dialah yang menutup dan membuka hati kita. Dialah yang membutakan, menulikan dan menguncinya hingga tidak memberikan kepahaman atas ayat-ayat Allah yang turun ke dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar